Jika sebelumnya telah membahas tentang salah satu seri sastra dunia yang ditulis oleh Natsume Soseki, maka kali ini saatnya beralih pada sastra ciptaan Tanah Air, yaitu kumpulan cerpen yang ditulis oleh Nasjah Djamin yang berjudul "Di Bawah Kaki Pak Dirman".
Kumpulan cerpen ini awalnya diterbitkan oleh Penerbit Dian Yogyakarta pada tahun 1967, yang kemudian diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka pada tahun 1986. Sebagian besar cerpen dalam buku tersebut mengambil jalanan Malioboro sebagai latar tempat dan masa-masa sekitar tahun 1950-an sebagai latar waktu.
Jika kalian pernah ke Malioboro kemudian membaca buku ini, maka rasa nyata dari latar tempatnya akan sangat terasa. Suasananya, malamnya, dan ramainya. Kita seolah berada di sisi tokoh utama dan melihat pahit manis kehidupan sekitar. Kita diajak kembali ke masa lalu, di masa-masa sehabis perjuangan revolusi fisik melawan penjajah dengan menelusur kisah-kisah kehidupan pahlawan awanama. Ada kebanggaan dan luka yang masih tersisa, meski kata merdeka telah tersemat pada nama Indonesia.
Beberapa judul cerpen yang saya suka antara lain: "Pertemuan", "Di Bawah Kaki Pak Dirman", "Malam Abstrak", "Napitupulu", "Pengawal Malam", "Sepasang Hari Sebelum Lebaran".
Saya cukup setuju dengan bahasan dalam artikel yang dirilis oleh Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud, bahwa kumpulan cerpen berjudul "Di Bawah Kaki Pak Dirman" yang ditulis oleh Nasjah Djamin ini berisi tentang ironi-ironi nasih orang kecil yang berkontribusi dalam perjuangan, tetapi namanya tidak tercantum dalam sejarah. Juga bahwa cerpen-cerpen itu menampilkan sisi lain dari kehidupan revolusi.
Misalnya saja dalam cerpen yang berjudul "Di Bawah Kaki Pak Dirman" mengisahkan sebuah ironi tentang keluarga para pahlawan dari kalangan orang biasa. Yang mana mereka memiliki kehidupan yang jauh dari kata sejahtera, meski sama-sama telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Sebuah ironi, juga dapat kita temukan dalam cerpen yang berjudul "Pertemuan" di mana seorang murid yang merupakan pejuang kemerdekaan bertemu dengan gurunya yang pro terhadap Belanda. Dapat kita lihat bahwa si Guru hidupnya sangat bergelimang harta, terjamin dan sejahtera padahal ia dulunya adalah pro Belanda. Ia menikmati kemerdekaan hasil perjuangan orang-orang seperti muridnya, yang kerap tersiksa dan menderita demi memperjuangkan tanah airnya.
Namun, bagaimanakah nasib sang Murid seusai kemerdekaan itu tercapai? Samakah sejahteranya dengan gurunya yang mengkhianati bangsa? Sayang sekali, kenyataan pahit sajalah yang ada. Sang Murid tetap dalam derita dan hidupnya yang penuh dengan kekurangan. Inilah sisi lain dari revolusi kemerdekaan, meski perjuangan fisik telah terampungkan dan merdeka didapatkan semua tak serta merta akan bahagia. Ada pihak-pihak yang tetap dalam derita dan luka-lukanya.
Akan tetapi, jurstu orang-orang kecil yang tak dikenal sejarah itulah yang sejatinya pahlawan yang berkontribusi besar bagi kemerdekaan bangsa ini. Mereka yang asing namanya, yang tak meminta balas jasa atas kucuran darah, keringat dan harta mereka demi masa depan bangsanya.
Saya rasa Nasjah Djamin sukses membawa kita turut merasakan perihnya luka seusai perjuangan. Kenyataan hidup yang sesungguhnya dari para pahlawan bangsa ini di tengah gemerlapnya nama besar semacam Jenderal Sudirman, yang rupanya tak seindah bayangan kita.
Meski begitu, saya rasa tidak semua cerpen yang dimuat dalam buku "Di Bawah Kaki Pak Dirman" berisi tentabg ironi dan luka usai masa perjuangan. Sebab untuk cerpen dengan judul "Malam Abstrak" saya rasa cukup berbeda. Bukan ironi atau sisi lain dari revolusi, akan tetapi justru terasa komedi. Berkisah tentang seorang seniman yang putus cinta. Saking tersiksanya sampai ingin bundir, tetapi tak berani, dan berakhir dengan tingkah komedi atas saran temannya. Ditutup dengan sebuah ending yang membagongkan, benar-benar sebagaimana judulnya "Malam Abstrak" isinya pun tak kalah abstraknya.
Profil Penulis
Nasjah Djamin memiliki nama asli Noeralamsyah, lahir di Perbaungan, Sumatera Utara pada tanggal 24 september 1924. Ia kemudian menikah pada tahun 1967 dengan Umi Naftiah dan menetap di Yogyakarta bersama istrinya. Ia meninggal pada usia 73 tahun tepatnya pada tanggal 4 September 1997 dan dimakamkan di bukit Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta.
Ia banyak dikenal sebagai pelukis juga penulis yang banyak menghasilkan cerita pendek, sajak, dan roman yang dimuat dalam majalah. Ia juga menghasilkan naskah drama dan film.
Karya-karyanya yang telah terbit antara lain: Sekelumit Nyanyian Sunda yang berupa kumpulan cerita pendek (1961) dan berupa drama (1963), Helai-Helai Sakura Gugur (1966). Ada pula cerita anak-anak yang berjudul Si Pai Bengal (1952), Hang Tuah (1976). Kemudian ia juga menulis kisah roman, antara lain yang berjudul Hilanglah Si Anak Hilang (1977), Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1976), Malam Kuala Lumpur (1983), Bukit Harapan (1984), dan kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya dengan judul Sebuah Perkawinan (1974)
0 Komentar