Penerbit: Pro U Media
Tahun Terbit: 2008
Tebal: 344 hlm.
Sebenarnya ada banyak buku koleksi pribadi yang sudah selesai dibaca dan sangat ingin saya ulas dalam blog ini. Akan tetapi, rupanya membuat ulasan buku non-fiksi cukup susah dan bikin malas. Bukan karena bukunya jelek atau apa. Hanya saja ada banyak poin yang sangat gatel ingin saya cantumkan, sehingga kadang membuat saya sangat kebingungan untuk memilah-milah mana yang sebaiknya disampaikan dalam ulasan, dan mana yang rasanya tidak perlu.
Buku yang akan diulas kali ini adalah buku yang ditulis oleh Salim A. Fillah dan terbit pada tahun 2008 lalu. Meski terbitnya sudah lama, saya rasa bahasan perkara cinta tak pernah kenal kata "basi". Sebab di setiap zaman, selalu saja ada banyak penikmatnya.
Sebenarnya ada dua alasan mengapa saya memilih buku ini. Pertama, semua bermula dari pengalaman PPL di LSQ Ar-Rahmah tanggal 17 Juli kemarin. Selama 7 hari menjalani PPL, lagu "Casablanca" yang dinyanyikan oleh Nuha Bahrin dan Naufal Azrin adalah salah satu lagu yang sering terdengar di telinga. Baik itu di kamar, di aula, hingga ketika mengerjakan tugas. Lagunya tentang rasa cinta, tentang dua manusia yang sedang dimabuk asmara.
Berkat lagu ini, saya jadi teringat dengan buku Salim A. Fillah yang berjudul Jalan Cinta Para Pejuang, sebagaimana judulnya, isinya tak jauh-jauh dari tema "cinta".
Alasan kedua, karena suasana kota Yogyakarta yang masih terasa. Rasanya sayang kalau momen ini berlalu sia-sia. Maka dari itu, saya rasa buku "Jalan Cinta Para Pejuang" adalah buku yang tepat untuk diulas. Terlebih lagi penulisnya adalah orang Jogja dan merupakan penulis idola saya, Salim A. Fillah.
Bagi saya, buku ini cukup istimewa, karena merupakan buku pertama yang saya beli dengan uang sendiri. Lebih tepatnya sih hasil gaji magang waktu SMK di tahun 2018 lalu.
Generasi Penakluk Cinta
Dari awal mula saya menemukan karya-karya Salim A. Fillah, kebanyakan yang saya baca adalah yang bertema motivasi dan sejarah. Semisal Lapis-Lapis Keberkahan, Saksikan Bahwa Aku seorang Muslim, dan Menyimak Kicau Merajut Makna. Barulah kemudian tahu, ada pula yang bahasannya perkara cinta. Namun uniknya, judulnya justru tersemat kata "pejuang".
"Ah, pasti bahasannya bukan cinta yang sembarangan," demikianlah sebersit ungkapan hati. Rupanya memang demikian adanya. Buku ini membahas cinta dengan melekatkannya pada semangat juang.
"Ini bukan cinta yang lemah, yang cengeng, yang bonsai. Ini adalah cinta yang hidup, yang bersahabat, yang bermanfaat, yang kuat. Ini adalah cinta yang gempita, yang menggema, yang membebaskan. Ini adalah cinta yang suci, yang segar, yang menggugah, yang mengubah. Inilah jalan cinta para pejuang." (Halaman 9)
Dalam buku ini kita akan dibawa berkelana pada cinta dan pemaknaannya mulai dari kisah Laila Majnun hingga Romeo Juliet. Dengan kisahnya yang mendewakan rasa cinta. Bahkan menganggap bahwa cinta adalah penakluk segalanya, padahal sejatinya bukan.
"Karena cinta tak boleh menaklukkan kita, karena kitalah yang akan menaklukkan cinta." (Halaman 32)
Memasuki bab 2, kita akan diajak untuk menyelami bagaimana dunia kita hari ini dan fenomena-fenomena yang menyertainya. Agaknya buku ini cukup banyak memuat istilah psikologi dan hal-hal ilmiah dalam bahasannya. Semua itu dicantumkan untuk kebutuhan pendukung argumen dan penguat gagasan.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian awal buku, " ... saya berdenting dering dikejutkan oleh pergeseran trend dunia, riset-riset psikologi mutakhir, dan sejuta fenomena cinta yang makin terkuak dari bilik rahasianya." (Halaman 7-8)
Meski demikian, untunglah penulis sangat lihai dalam memilah diksi, hingga tak terasa bab 2 terlewati dengan penuh kata "Aha!" yang terucap, seiring pemahaman dan keterkejutan terhadap fakta yang diungkap.
Kemudian, di bab-bab setelahnya, kita akan diajak berkeliling dunia dan berkaca pada kisah-kisah luar biasa yang menggugah jiwa di sepanjang zaman. Mulai dari era sekarang, semisal kisah Ahmad Yasin, seorang lelaki tua lumpuh yang ditakuti Israel. Konon, setiap ia mengajar, murid-muridnya bak kerasukan karena saking semangatnya mengamalkan apa yang diajarkannya.
Hingga melintasi masa lalu, di mana para generasi terbaik hidup. Mengajak kita melihat bagaimana mereka meghadapi perkara rasa. Bukan sekadar rasa cinta pada lawan jenis, tetapi cinta dalam cakupan yang lebih luas dan mengokohkan. Cinta pada Allah, pada Rasul-Nya, dan pada perjuangan menegakkan Islam. Sebab itulah cinta terkait erat dengan perjuangan.
Ada kisah tentang Ibrahim dan mimpi yang dilihatnya, yaitu menyembelih Ismail. Yang mengajak kita merenungkan tentang pentingnya musyawarah dengan pihak-pihak terkait, tidak peduli seyakin atau sebenar apapun mimpi itu.
Ada kisah tentang Habibah binti Sahl, isteri dari Tsabit bin Qais yang mengadu pada Rasulullah. Kisah tentang panglima terbaik umat Islam, Khalid bin Walid, kisah tentang Julaibib si buruk rupa dan istrinya yang jelita, dan tentunya masih banyak lagi kisah lainnya.
Salah satu aspek unggul dalam tulisan Salim A. Fillah, selain pemilihan diksinya, adalah bagaimana cara beliau dalam meramu sebuah kisah sejarah. Membuat sejarah yang kerap kali bikin eneg menjadi terasa lezat dikecap. Kisah yang sudah lazim kita kenal, terasa begitu baru dan seolah tak terduga.
Bukan hanya kisah sejarah, dihadirkan pula kisah-kisah lucu, pengalaman, hingga perumpamaan-perumpamaan terkait cinta dan khususnya tentang jodoh. Semuanya disusun begitu apik untuk menyampaikan satu pesan, tentang hakikat cinta yang mengokohkan.
Sebagaimana yang tertulis di sampul bukunya:
"Jika kita menghijrahkan; dari kata benda menjadi kata kerja, maka tersusunlah sebuah kalimat peradaban dalam paragraf sejarah. Jika kita menghijrahkan cinta; dari jatuh cinta menuju bangun cinta, maka cinta menjadi sebuah istana tinggi menggapai surga."
Pembahasan tentang cinta akan selalu relevan dengan siapa saja. Sebab itulah, saya rasa buku ini cocok untuk siapa pun tanpa kenal usia. Dengan susunan kalimat yang tak pernah gagal membawa pikat dan kisah yang selalu mampu hadirkan hikmah.
Inilah "Jalan Cinta Para Pejuang".
0 Komentar