Identitas Buku
Penulis: Ayun Qee
Penerbit: Diva Press
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 296 hlm.
Buku
ini saya baca melalui aplikasi iPusnas. Sebuah novel yang menceritakan tentang
seorang perempuan bernama Kimya yang keluarganya hancur karena perselingkuhan
ayahnya. Hal itu sampai-sampai mempengaruhi kejiwaannya hingga dokter
memvonisnya sebagai pengidap Skizofrenia.
Hingga suatu hari, datanglah seorang laki-laki
bernama Zohal yang datang ke mimpi Kimya. Kehadiran Zohal yang menjadi
tempatnya bercerita segala keluh kesahnya perlahan mulai membuat kejiwaannya
kian membaik. Dalam mimpi itu, Zohal kerap membisikkan tiga kata asing,
“Hamdim, Pistim, Yandim.”
Tak berhenti sampai di situ, Zohal juga meminta
Kimya datang ke Konya, Turki pada tanggal 17 Desember yang bertepatan dengan
Peringatan Shebi Arus. Novel ini akan membuat kita bertanya-tanya, apakah sosok
Zohal ini bernar-benar ada? Bagaimana jika Kimya telah jauh-jauh pergi ke
Konya, namun sosok Zohal ternyata tidak nyata?
Nyatanya, memang misteri itulah akan penulis
pertahankan sampai akhir untuk memikat para pembacanya agar tetap bertahan
untuk membaca novel tersebut. Kita baru akan mendapatkan penjelasan tentang
kejelasan sosok Zohal dan tiga kata asing yang diucapkannya di akhir bagian.
Seperti kata Tere Liye, novel ini memiliki premis
yang anti mainstream dengan menggabungkan broken home, cinta, skizofrenia
hingga Jalaludin Rumi dan tanah kelahirannya, Konya. Uniknya pula, penulis
novel ini belum pernah berkunjung ke Konya, tetapi dengan kelihaiannya meramu
data dan kata, semua mengalir begitu saja seolah-olah kita tengah menapaki
Turki secara nyata.
Turki, Oase Keruhanian di Tengah Kegerasangan Kota-Kota Barat
Dalam sebuah pembuatan cerita fiksi, latar tempat
adalah hal yang akan sangat mempengaruhi jalannya cerita. Sebab sebuah tempat
memiliki kebudayaan dan nilai-nilainya masing-masing. Dengan mengambil tempat
tersebut sebagai latar, maka sama artinya dengan mengambil budaya, kepercayaan,
dan nilai-nilai yang penduduknya anut dalam cerita yang hendak dibuat.
Barangkali Turki, atau tempat-tempat di Timur Tengah
sana agaknya jarang menjadi latar tempat untuk sebuah novel. Banyak penulis
yang lebih cenderung menggunakan kota-kota di Barat sana sebagai latar. Atau
barangkali negara di Timur jauh, seperti Korea atau Jepang dengan segala tren
dan dunia hiburannya.
Orang-orang barat terkenal dengan keilmuan dan
kecanggihan teknologinya, maka timur tengah unggul dengan ilmu jiwanya. Maka
dari itu, tak mengherankan jika lahir tokoh seperti Jalaludin Rumi, seorang
sufi besar. Selain itu, pengambilan sosok Jalaludin Rumi dalam novel ini
sebagai bagian dari cerita juga sangat menarik.
Sebab Jalaludin Rumi adalah tokoh yang disegani oleh
banyak kalangan, bukan hanya muslim saja, melainkan orang-orang di dunia barat
sana, khususnya Amerika sangat menggemarinya. Bahkan sampai ada yang rela
menghabisakan 25 tahun hidupnya demi mengkaji sosok Jalaludin Rumi ini. Sungguh
ironis rasanya, jika kita sebagai umat muslim tak mengenal sufi besar ini.
Novel Tentang Pencarian Makna dan Perjalanan Spiritual
Setelah membaca novel ini sampai habis, saya sadari
ada banyak konflik yang tidak digali dengan maksimal. Misalnya saja tentang gangguan
kejiawaan Skizofrenia, konflik keluarga dan perselingkuhan ayahnya, bahkan
kejelasan tentang hubungan asmara Kimya tidaklah terbahas dengan tuntas. Seolah
semua konflik itu hanyalah faktor pendorong saja untuk membawa Kimya menemui
Zohal dan datang ke Konya, Turki.
Agak disayangkan rasanya, karena pemilihan latar
konflik yang terbilang unik dan dengan premis yang anti mainstream tersebut,
barangkali novel tersebut akan menjadi jauh lebih menarik, itulah yang saya
rasakan, menyetujui pendapat pembaca lain yang saya temukan di Goodreads.
Hal yang paling membuat hati saya tidak lega ketika
membaca novel ini adalah konflik Kimya dan ayahnya yang pada akhirnya tetap
menggantung tanpa kejelasan. Padahal di part akhir saya mulai berspekulasi
bahwa dari perjalanan tersebut Kimya mulai bisa menerima keadaan sekitar dan
menerima ayahnya kembali. Ya, walau keputusan yang diambil ayah Kimya memanglah
tidak bijak karena lebih memilih selingkuhan dibanding keluarganya.
Tapi, setidaknya dari perjalanannya tersebut Kimya
menemukan sebuah fakta dibalik namanya, ya saya pikir dengan adanya fakta itu
setudaknya dapat melunakkan hatinya dan mengubah sedikit persepsi Kimya
terhadap ayahnya. Namun, apa mau dikata, itu hanya spekulasi saya sebagai
pembaca. Sebab nyatanya, sampai akhir cerita konflik keluarga Kimya sama sekali
tak terbahas.
Maka dari itu, saya mengambil sebuah kesimpulan
bahwa fokus cerita ini adalah tentang pencarian makna dan perjalanan spiritual.
Semua yang terjadi di dalamnya memiliki makna, mulai dari pertemuannya dengan
Zohal, Kiral, sampai pada kunjungannya ke Konya di acara peringatan Shebi Arus.
Semua memiliki makna yang akan mengubah pandangan Kimya terhadap kehidupannya.
Ya, karena ada sosok Jalaludin Rumi di dalamnya, wajar saja jika novel ini jauh
lebih menonjolkan sisi sufistiknya.
Makna
Hamdim, Pistim, Yandim
Diksi “Hamdim, Pistim, Yandim” adalah sorotan utama
dalam novel ini. Semua ada kaitannya dengan perayaan Shebi Arus, atau juga
disebut sebagai malam pengantin Jalaludin Rumi yang diperingati setiap tanggal
17 Desember di Konya.
Meski namanya adalah malam pengantin, tetapi
sejatinya di tanggal tersebut adalah hari wafatnya sang Sufi Besar dan
menghadap pada Rabb-nya. Namun, Jalaludin Rumi tak mengharapkan kesedihan dan
tangis manusia untuk meratapi kepergiannya. Sebab kematiannya adalah gerbang
menuju pertemuan pada sang Kekasih Hati, Allah Swt. Maka dari itu, ia menggelar
pesta dan peringatan kematiannya disebut sebagai malam pengantin.
Bagi Rumi, kematian adalah obat kerinduannya untuk
berpulang pada Allah setelah lelah menempuh terjalnya perjalanan dunia.
Sebagaimana yang pernah diungkapkannya, “Kematian adalah jembatan yang
menghubungkan orang yang mencintai dengan yang dicintainya.”
Dalam novel itu, Kiral menjelaskan bahwa Hamdim,
Pistim, Yandim adalah ringkasan dari perjalanan spiritual Jalaludin Rumi.
Hamdim berarti mentah, melambangkan manusia yang terlahir dalam keadaan mentah
sehingga harus dimasak, yaitu pistim,
dengan segala macam cobaan dan ujian hidup. Hingga akhirnya ia sampai pada
tahap yandim atau terbakar, yaitu
terbakar oleh cinta kepada-Nya. Tiga fase ini juga terlambang pada tiga boneka whirling dervish. Hitam melambangkan
handim, abu-abu melambangkan pisitm, dan putih melambangkan yandim.
Secara keseluruhan, buku ini tetap menarik untuk
dibaca bagi para pembaca yang suka terhadap novel tentang pencarian makna,
terlebih bagi para pembaca yang suka dengan Jalaludin Rumi dan segala
pemikirannya. Atau bagi pembaca yang suka dengan novel yang memberikan sensasi travelling dengan sedemikian nyata.
Sebab perjalanan Kimya selama di Turki terbilang sangat menarik dan tidak
membosankan untuk diikuti.
0 Komentar